Sabtu, 17 Oktober 2015
Bagi masyarakat Sunda, nama Siliwangi memiliki arti tersendiri. Namanya melekat kuat dalam ingatan masyarakat Sunda, menjadikannya ikon dan sosok paling membanggakan. Dia adalah Raja Pajajaran yang paling tersohor, gelar yang disandangnya adalah Sri Baduga Maharaja. Konon, pada masanya, ia adalah raja paling bijaksana, adil, berwibawa, dan dicintai rakyatnya.
Ada banyak tuturan lisan (verteller) tentang Prabu Siliwangi. Terkadang, satu versi dengan versi lainnya saling berbeda. Satu hal paling banyak dituturkan tentang Prabu Siliwangi adalah masa-masa pada saat-saat akhir hidupnya, yaitu saat bagaimana ia masuk dan keluar hutan untuk melarikan diri menghindari anaknya yang mengajaknya masuk Islam.
Anaknya itu adalah Kian (Rakeyan) Santang. Dia adalah anak bungsu dari Nyi Subang Larang, istri kedua Prabu Siliwangi. Nyai Subang Larang sendiri berasal dari keluarga Muslim. Ayahnya seorang syah bandar di Karawang, bernama Kiai Tapa. Sejak kecil Nyai Subang Larang belajar ilmu agama, atau nyantri di Pesantren Quro milik Syeh Hasanuddin. Anak-anaknya menjadi muslim yang taat, termasuk Kian Santang.
Konon dalam proses pengejaran itu masing-masing—Prabu Siliwangi dan Kian Santang--menggunakan ilmu ”nurus bumi” yaitu berlari dibawah tanah (?). Sampai di sebuah hutan di daerah Garut yang bernama hutan Sancang mereka bertemu dan bertarung mengadu kesaktian. Ayah dan anak beradu kuat saling mengalahkan, berdiri di atas keyakinannya masing-masing.
Walau agak diragukan, di kisah lain bahkan sampai disebutkan bahwa--"beungeut Rakeyan Santang diciduhan ku Ramana" (muka Rakeyan Santang diludahin sama ayahnya).
Prabu Siliwangi kalah dalam pertarungan tersebut, tapi tidak lantas membuatnya jadi Islam (yang artinya tunduk/menyerah). Dia pun berkata pada Kian Santang, "COBA kau pegang ujung kayu kaboa di sebelahmu anakku, dan aku akan pegang ujung yang satunya," Maknanya, saling memegang ujung ranting kayu kaboa sudah merupakan simbol bahwa dua ujung itu tak akan pernah bertemu.
"Aku memberi kebebasan bagi siapa pun untuk memilih agama. Yang aku cemaskan adalah keserakahan orang. Setelah memilih yang satu, lantas ganti lagi memilih yang baru, begitu seterusnya. Sementara bagi seorang raja, keyakinan itu sebuah kehormatan dan tak bisa sesepele itu digonta-ganti seperti orang membalikkan telapak tangan," demikian jawaban Prabu Siliwangi sebagai penolakan akan ajakan putranya untuk berganti agama.
Dalam Uga Wangsit Siliwangi tertulis:
“Kalian harus memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini, tapi Pajajaran yang baru, yang berdirinya mengikuti perubahan zaman!
Pilih : aku tidak akan melarang. Sebab untukku, tidak pantas jadi raja kalau rakyatnya lapar dan sengsara.
Dengarkan!
Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan!
Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara!
Yang ingin berbakti kepada yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur!
Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!”
Sesudah Sang Prabu selesai berbicara, wujudnya menghilang seketika dan orang Sunda mengatakannya sebagai ngahiang.
Tapi, ini hanya sebuah siloka/seloka. Masyarakat Sunda adalah masyarakat yang menjunjung tinggi adab dan sopan santun, termasuk sopan santun terhadap orang tua. Dalam kasus ini, kata ‘ngahiang’ adalah bahasa sopan untuk kata ‘dibunuh’. Ya, Prabu Siliwangi dibunuh oleh anaknya sendiri, Kian Santang. Karena alasan remeh-temeh urusan agama.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar